Kita Sedang Memasuki Masa Kegentingan Nasional

Di tengah hiruk-pikuk politik, parlemen dan pemerintah membuat kesepakatan penting: penetapan asumsi makro harga minyak dan penambahan subsidi listrik untuk Rancangan APBN untuk “Tahun Politik” 2019.

Ketua Komisi VII DPR RI, Gus Irawan Pasaribu memulai dengan cerita tentang tugasnya sebagai Ketua Komisi VII, yang ruang lingkup kerjanya meliputi energi, riset dan teknologi, serta lingkungan hidup. Termasuk, tentang kesepakatan yang pada akhirnya diputuskan oleh Komisi VII DPR atas asumsi dasar makro yang diusulkan Kementerian ESDM dalam Rancangan APBN Tahun 2019, hari Rabu (19/9).

Dalam kesepakatan ini, asumsi makro untuk Indonesian Crude Price (ICP) ditetapkan sebesar US$ 70/barel. Angka ini mengalami kenaikan dibandingkan ICP APBN 2018 yang hanya dipatok US$ 48. Lifting migas ditetapkan 2,025 juta barel setara minyak per hari, terdiri dari lifting minyak 775 ribu barel per hari (bph) dan lifting gas bumi 1,250 juta barel setara minyak per hari. Dibanding APBN 2018, angka asumsi lifting minyak turun 25 ribu bph, sedangkan gas naik 50 ribu barel setara minyak per hari.

Subsidi tetap minyak solar juga mengalami perubahan, yaitu Rp 2.000 per liter atau naik Rp 1.500 dari tahun sebelumnya. Dan, satu lagi yang disepakati, subsidi penyambungan listrik 450 Volt Ampere (VA) untuk rumah tangga tangga tidak mampu sebesar Rp 1,2 triliun.

Berikut wawancara dengan Gus Irawan, yang juga politisi dari Partai Gerindra tersebut:

Sebagai orang politik, keputusan untuk menambah subsidi listrik di tahun 2019, apakah tidak merugikan partai Anda? Kan, bisa saja keputusan ini kemudian dijadikan sebagai bahan kampanye untuk kontestasi politik tahun depan?

Kalau dilihat dari sisi politik, memang agak aneh kalau ada partai oposisi menyetujui usulan subsidi yang akan dilaksanakan oleh pemerintah. Tapi, persoalannya tidak di situ. Ini soal sikap partai kami. Dari awal, sikap partai memang sudah jelas, bahwa kami mendukung subsidi untuk rakyat.

Dulu waktu ada kebijakan pencabutan subsidi, kami juga menolak dan keluar dari sidang. Kalau sekarang kami sebagai oposisi mendukung pemberian subsidi, kemudian ada yang berpikir bahwa kebijakan ini bisa saja digunakan untuk kampanye yang menguntungkan pemerintahan sekarang, apalagi tahun depan adalah tahun politik, ya silakan saja. Komitmen adalah kepada rakyat.

Pemerintah terlihat bersemangat dengan isu subsidi BBM. Bahkan, tema soal “BBM satu harga” juga sempat populer. Bagaimana menurut Anda?

Begini, kalau soal BBM satu harga, dari dulu ya BBM kita sudah satu harga. Nah, yang kemudian membuat harga BBM menjadi berbeda di beberapa tempat, misalnya di Papua, itu persoalannya bukan di BBM. Tapi di ketersediaan SPBU.

Sebenarnya sudah ada ketentuan, pada tiap berapa kilometer itu harus ada SPBU. Kalau jumlah SPBU sedikit, otomatis jarak tiap SPBU menjadi jauh. Kalau jarak antar-SPBU jauh, yang muncul kemudian adalah biaya lain-lain. Ditambah lagi, tidak ada mekanisme yang memantau soal penerapan harga. Akhirnya terjadilah perbedaan harga BBM itu.

Apakah ini berarti kebijakan “BBM satu harga” itu kurang efektif?

Memang persoalannya bukan di situ. Makanya, pertanyaannya yang harus diubah: bisa atau tidak pemerintah menyediakan SPBU sesuai dengan ukuran kilometer yang ideal?

Kalau di Papua, atau di Nias, atau di pulau terjauh kita, ketersediaan SPBU masih minim, bagaimana bisa menerapkan satu harga? Yang terjadi kan hukum pasar: kebutuhan tinggi, biaya tinggi, ujungnya harga ke konsumen menjadi berbeda.

Solusinya menurut Anda?

Yang punya kewenangan dan kebijakan untuk pendirian SPBU itu pemerintah. Jadi, peran pemerintah untuk merencanakan secara efektif dan strategis dalam sistem distribusi bahan bakar kita yang harus dievaluasi.

Apakah penyebaran SPBU yang merata bisa menjadi solusi bagi masalah BBM kita?

Begini. Dalam konteks BBM sebagai kebutuhan energi nasional, seharusnya kita sudah harus mengubah mindset kita. Pemikiran dan rancangan kita ke depan, harusnya sudah tidak lagi terus berpikir untuk bergantung pada energi fosil.

Cadangan energi fosil di wilayah kita juga sudah menipis. Sumur-sumur minyak kita juga sudah banyak yang tua. Malah ada data yang menyebutkan, energi fosil kita ini tinggal 10 tahun lagi. Selain itu, energi fosil juga tidak ramah lingkungan.

Kita tidak punya pilihan. Cepat atau lambat, kita harus sudah mulai harus berpindah ke EBT, energi baru terbarukan. Pilihan kita paling efektif, efisien, ramah lingkungan dan yang jelas lebih murah.

Tuhan memberkati negeri ini dengan berbagai energi, yang jika bisa kita manfaatkan untuk kepentingan nasional, akan bisa menghidupi dan memakmurkan rakyat bangsa ini.

Apakah ini berarti kita akan berpindah ke bahan bakar gas?

Itu salah satu pilihan. Meskipun, cadangan gas kita juga terbatas. Ada data yang menyebutkan cadangan gas kita, mungkin hanya 50 tahun. Artinya, kita tidak bisa juga bergantung pada gas. Kita harus mengelola dan memanfaatkan energi yang dimiliki oleh bangsa ini, yang cadangannya tidak habis-habis.

Apa itu?

Kita punya energi air untuk pembangkit listrik. Kita juga punya energi angin. Kita punya energi surya. Ini Energi Baru dan Terbarukan yang berlimpah ketersediaannya di negara ini.

Bukankah selama ini pemerintah sudah mengembangkan EBT ini?

Benar. Tapi persoalannya, seberapa serius pemerintah kita mau mengembangkan EBT ini?

Maksudnya?

Begini. Pengembangan dan pemanfaatan EBT ini sangat bergantung pada political will. Seberapa kuat dan seberapa besar komitmen pemerintah untuk segera mengembangkan EBT ini untuk menjadi suplai utama kebutuhan energi nasional?

Sekarang kita ambil contoh BBG, bahan bakar gas untuk transportasi. Sudah seberapa jauh pemerintah mengembangkan ini? Anda lihat sendiri kan, di Jakarta saja, yang menggunakan BBG untuk transportasi baru bajaj. Kendaraan yang lain masih menggunakan energi fosil.

Kalau ada political will yang kuat dari pemerintah, kan bisa diberlakukan secara nasional. Misalnya, agar seluruh kendaraan dinas pemerintah menggunakan BBG. Dimulai dari situ saja dulu.

Peran parlemen sendiri, bagaimana?

Nah, ini yang sedang kita lakukan saat ini. Komisi VII, khususnya, saat ini tengah mendorong dilakukannya pembahasan Rancangan Undang-undang Energi Baru Terbarukan. Bahkan, kami mendorong agar tahun depan, RUU ini masuk prolegnas.

Dengan demikian, kita tidak lagi terus berpikir untuk menggantungkan konsumsi energi nasional kita pada BBM atau BBG. Kita harus mendorong pengelolaan dan pemanfaatan EBT ini sebagai amanat konstitusi yang harus dilaksanakan.

Apalagi kita juga sudah meratifikasi kesepakatan Paris soal climate change. Artinya, kita sudah harus mengubah energi yang tidak ramah lingkungan, seperti energi fosil itu, ke energi ramah lingkungan.

Respon pemerintah sendiri, bagaimana?

Ini yang membuat kita di parlemen jadi heran. Pihak pemerintah sepertinya kurang bersemangat dengan RUU EBT ini. Padahal ini sangat penting bagi kebutuhan energi nasional kita.

Menurut Anda, kalau kebutuhan energi kita masih mengandalkan BBM, apa yang terjadi?

Dalam jangka menengah, seperti yang saya jelaskan tadi. Kita akan makin kekurangan cadangan minyak. Implikasinya, ya impor. Resikonya, ya harga akan ditentukan pasar.

Inilah yang kami sebenarnya tidak setuju, melepaskan harga minyak ke mekanisme pasar. Harga jadi sulit dikendalikan. Dan, yang merasakan dampak langsung dari kebijakan ini adalah konsumen. Masyarakat langsung.

Dalam jangka pendek?

Yang jelas akan ada masalah dengan APBN kita.

Dimana masalahnya?

Saya melihat angka-angka di APBN kita masih ada yang belum make sense. Misalnya soal penetapan kurs dolar, masih menggunakan angka asumsi Rp 13.000 untuk 1 dolar US. Sementara, realitas kita saat ini harga US dolar sudah cenderung naik.

Juga pada angka subsidi BBM. Pada APBN 2018, subsidi yang disetujui untuk solar Rp 500 per liter. Untuk RAPBN 2019, pemerintah mengajukan angka sekitar Rp 3.000. Akhirnya disepakati Rp 2.000 per liter. Ini artinya, ada peningkatan yang tinggi pada subsidi solar.

Pertanyaannya, apakah harga solar akan bisa dijaga di tahun depan? Ini akan menjadi pekerjaan berat pemerintah. Apalagi, target lifting minyak kita, kalau dibandingkan dari tahun ke tahun, angkanya menurun.

Kalau melihat fakta saat ini, kita justru khawatir. Di APBN 2018, subsidi yang diberikan untuk solar Rp 500, tapi harga solar naik. Untuk menjaga harga, Pertamina yang harus menutupi kekurangannya. Ini jelas ada kerugian. Pertamina juga sudah mengakui itu.

Dengan situasi politik 2019, dimana akan berlangsung kontestasi pemilihan kepemimpinan nasional, apa yang Anda lihat dengan situasi seperti ini?

Saya melihat kita ini sedang memasuki situasi kegentingan nasional. Persoalan besarnya, kondisi perekonomian kita secara umum sedang tidak bagus. Ditambah dengan situasi politik tahun depan, yang dinamikanya akan meningkat.

Menurut saya, aparat pemerintahan saat ini harus benar-benar bekerja ekstra keras untuk menjaga agar situasi tetap terkendali. Jangan sampai terjadi gejolak sosial dan politik.

Ini akan berat bagi siapapun yang akan melanjutkan pemerintahan nanti, terutama untuk menjaga agar kita tidak masuk ke situasi krisis.

Dalam RAPBN 2019, parlemen juga menyepakati penambahan subsidi listrik untuk rakyat. Bisa dijelaskan?

Kita di parlemen, prinsipnya akan menyetujui setiap kebijakan yang menguntungkan rakyat banyak. Dan yang perlu diketahui, subsidi listrik yang diberikan ini adalah subsidi penyambungan listrik untuk rumah tangga tidak mampu.

Targetnya agar tahun 2019, elektrifikasi kita bisa 99 persen. Artinya, secara nasional kita sudah seluruhnya bisa dialiri listrik.

Subsidi penyambungan ini diberikan, karena pada faktanya, ketika diberikan subsidi listrik pada rumah tangga tidak mampu dengan uang Rp 500 ribu, mereka masih banyak yang tidak bisa menikmati listrik. Masalahnya karena tidak ada sambungannya. Karena itu diberikan subsidi sambungan listrik. Nanti mekanisme dan teknisnya, pemerintah yang mengatur.

Kita juga mendorong agar proyek pembangkit listrik yang menggunakan EBT, segera dilaksanakan. Ini salah satunya ada di kampung saya, di Batang Toru. Di sana, akan dibangun PLTU Batang Toru.

Proyek ini sangat strategis untuk pemenuhan kebutuhan listrik di kawasan Sumatera, karena energi air di tempat itu berlimpah. Hanya saja, proyek ini tersendat karena ada LSM yang menolak dengan alasan melindungi spesies langka yang ada di kawasan itu.

Saya sudah berkomunikasi dengan berbagai pihak, termasuk dengan Menteri ESDM. Dalam membangun PLTU, perlindungan lingkungan hidup justru menjadi prioritas. Jadi tidak ada alasan untuk menolak. Proyek ini harus dilanjutkan.

Karena itulah, saya mendorong agar RUU EBT segera masuk prolegnas. Karena di dalam RUU tersebut, persoalan lingkungan hidup dalam pengembangan EBT bisa dijaga dan dilindungi langsung oleh konstitusi.

Sebagai kader partai oposisi, apakah partai Anda memiliki konsep akan seperti apa energi nasional kita ke depan?

Partai Gerindra, jelas sudah memiliki konsep itu. Bahkan Pak Prabowo sendiri, sudah jauh berpikir soal energi baru itu. Bukan hanya EBT, tapi pengembangan energi nabati.

Di daerah Sumatera sedang dikembangkan energi nabati ini, yaitu dengan mengembangkan tanaman tertentu yang bisa menghasilkan energi ramah lingkungan untuk mengganti BBM.(*)