Dr. Muhammad Zain, Direktur GTK Madrasah Kemenag RI, menjelaskan bahwa Imam Jalaluddin as-Suyuthi menolak semua jabatan politik demi menjaga produktivitas menulis. Hal itu disampaikannya dalam diskusi yang diselenggarakan Dialektika Institute bekerja sama dengan ICMI Muda, Lembaga Survei Independen Nusantara, dan Kliksaja.co pada Minggu (17/04/2022). Tema yang diangkat pada diskusu ini ialah “Mengenal Figur Jalaluddin as-Suyuthi dan Corak Tafsirnya.”
Di awal pemaparannya, Muhammad Zain mengatakan bahwa sedari lahir, Imam as-Suyuthi dikenal sebagai sosok yang bergelut dengan dunia literasi. “Imam As-Suyuthi juga dikenal sebagai ibn al-kutub, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai anak buku. Beliau konon pasca dilahirkan diletakkan di atas tumpukan buku. Berangkat dari ini, sejak lahir, as-Suyuthi selalu disebut sebagai ulama yang ensiklopedis,” jelas Muhammad Zain, Direktur GTK Madrasah.
Disebut ensiklopedis karena Jalaluddin as-Suyuthi memproduksi ratusan karya. “Bahkan karya as-Suyuthi mencapai sekitar 433 karya. Ini menunjukkan keluasan ilmu beliau yang melingkupi fikih, usul fikih, hadis dan lain-lain,” jelas Zain.
Konon, karena sangat produktif menulis, Imam as-Suyuthi pun wafat akibat tangannya yang bengkak karena selalu menghabiskan waktu untuk menulis karya. “Banyak sekali memang kisah di kalangan para ulama kita yang karena saking cintanya pada ilmu sampai meninggal. Contohnya seperti Imam Muslim. Imam Nawawi pun sampai lupa makan hanya karena menulis karya. Beliau sampai disuapi makan oleh ibunya hanya karena focus menulis karya,” papar Zain.
Selain memaparkan produktivitas as-Suyuthi dalam menulis karya, Muhammad Zain ljuga memberikan catatan kritis terhadap produk tafsir yang dikemukakan oleh as-Suyuthi dalam kitab tafsirnya, Tafsir Jalalayn. Misalnya tafsir yang cenderung mengandung kebencian terhadap agama di luar agama Islam harus dipahami dalam konteksnya.
“Misalnya dalam tafsir akhir surat al-Fatihah, kita harus memahami tafsir yang benci kepada agama lain ini dalam konteksnya saat itu yang dimana masa as-Suyuthi hidup ialah masa perang Salib. Jadi amat wajar jika muncul tafsir seperti ini. Namun tafsir yang membangun kebencian terhadap agama lain ini jangan dianggap dan jangan dijadikan pegangan dan jangan pula diikuti. Semua punya konteksnya,” lanjut Zain.
Simak penjelasan lengkapnya dalam video berikut ini: