Muhamad Murtadlo, Peneliti Senior Brin, memaparkan bahwa semakin homogen suatu masyarakat di suatu wilayah semakin rendah skor indeks kerukunan umat beragama di dalamnya. Hal itu disampaikannya dalam ngaji kepemimpinan yang diselenggarakan oleh Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy pada Senin (11/04/2022).
Di awal pemaparannya dalam diskusi tersebut, Murtadlo mencontohkan beberapa provinsi yang rendah secara indeks kerukunan umat beragama, di antaranya ialah Aceh. “Wilayah Aceh yang dihuni oleh penduduk homogen dengan mayoritas umat Islam menunjukkan bahwa wilayah ini dinilai rendah dalam indeks kerukunan umat beragamanya,” papar Murtadlo.
“Sementara itu, wilayah NTT yang heterogen, menunjukkan bahwa indeks kerukunannya sangat tinggi mengingat masyarakat terbiasa dengan perbedaan,” lanjutnya.
Murtadlo menjelaskan tiga standar dalam indeks kerukunan umat beragama ini, di antaranya ialah toleransi, kesetaraan dan kemauan untuk kerjasama. Dalam hal toleransi, yang paling rendah kerukunannya ialah soal pembangunan rumah ibadah dan kedua soal perayaan syiar keagamaan. Sementara itu, hidup bertetangga dengan penganut agama lain dinilai cukup tinggi kerukunannya.
“Dalam hal kerjasama, hampir rata-rata skornya tinggi dalam indeks kerukunan umat beragama. Hanya yang rendah ialah soal membuka usaha dengan melibatkan penganut agama lain. Namun menariknya, dalam kasus di NTT, warung Padang yang didominasi Muslim mempekerjakan penduduk lokal yang non-muslim,” jelas Murtadlo.
Dalam hal kesetaraan, biasanya dalam soal syiar agama dan kepemimpinan, indeks kerukunan umat beragama di seluruh provinsi di Indonesia sangat rendah sementara dalam kaitannya dengan interaksi social sehari-hari cukup toleran.
Setelah memetakan indeks kerukunan umat beragama, Murtadlo juga mengetengahkan solusi untuk meningkatkan indeks kerukunan, di antaranya, pada masyarakat yang homogen, perlu dibangunnya fasilitas yang memungkinkan masyarakat tersebut terbuka dengan masyarakat lain yang berbeda.
“Misalnya dibangunnya model Mandalika di Riau atau Aceh yang memungkinkan masyarakat belajar terbuka dengan kedatangan orang-orang baru yang berbeda secara suku, agama dan bangsa. Kebijakan seperti ini akan membangun sikap kosmopolitanisme masyarakat,” papar Murtadlo.