Prof. Dr. M. Arskal Salim, GP, M.Ag menjelaskan bahwa belajar dari model kepemimpinan al-Ma’mun di era Abbasiyah, pemimpin negara harus mampu memainkan peranan politik, sains dan agama secara seimbang dalam membangun negara. Hal itu disampaikannya dalam ngaji kepemimpinan yang diadakan Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy pada Jumat (08/04/2022).
Menurut Direktur Balitbang Kementerian Agama ini, di era al-Ma’mun, sains berkembang pesat. Pada masa ini, hidup seorang ilmuwan besar bernama al-Khawarizmi yang namanya popular sampai saat ini dan dijadikan salah satu nama untuk teori matematika, yakni algoritma.
Tak hanya itu, peradaban di era Abbasiah, terutama al-Ma’mun, tidak hanya ditopang oleh peranan Umat Islam semata melainkan juga didukung oleh peranan Umat Kristen dan umat lainnya.
“Misalnya, Ishak bin Hunain, merupakan seorang penerjemah buku-buku dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Bait al-Hikmah saat itu diisi oleh para penerjemah terkenal dari Kristen ini,” jelas Prof. Arskal Salim.
Dari kemajuan pesat dalam sains ini, menurut Arskal, terlihat kesan adanya kecenderungan ideologis al-Ma’mun yang pro terhadap ilmu pengetahuan dan ilmuwan di satu sisi dan mengesampingkan peranan ilmu agama dan ulama di sisi lain.
Lewat kecenderungan inilah, menurut Prof. Arskal, al-Ma’mun mendapat rasa hormat dari para ilmuwan di masa itu dan tidak terlalu mendapat respek dari para ulama. Bahkan penerjemahan buku-buku pengetahuan dari Yunani dipandang para ulama sebagai langkah-langkah negatif yang akan mengancam peranan mereka.
Lebih jauh lagi, meski merupakan puncak keemasan ilmu pengetahuan dalam sejarah peradaban Islam, era kepemimpinan al-Ma’mun juga ditandai dengan peristiwa besar: menginkuisisi ulama yang tidak menyakini bahwa al-Quran itu makhluk. Hal demikian ini, menurut Prof. Arskal, merupakan konsekwensi logis dari kegandrungan al-Ma’mun terhadap ilmu pengetahuan.
Arskan menjelaskan lebih jauh bahwa memang tampak adanya paradoks besar yang dimainkan secara politis oleh al-Ma’mun di era kepemimpinannya: pertama, mengembangkan kemajuan ilmu pengetahuan di satu sisi dan kedua, menginkuisisi keyakinan para ulama Islam di sisi lain.
Langkah politis al-Ma’mun ini, menurut Arskan, menyisakan banyak persangkaan di kalangan ulama terhadap proyek penerjemahan buku-buku pengetahuan Yunani, dan pada akhirnya mewariskan resistensi ulama terhadap perkembangan ilmu umum dan bahkan menyebutnya sebagai sesat.
Prof. Dr. M. Arskal Salim menegaskan bahwa seharusnya pemimpin seperti al-Ma’mun di masanya mampu menggunakan kekuatan politiknya untuk menyeimbangkan relasi sains dan agama, dan bahkan mengharmoniskan hubungan antara keduanya.
“Sebab, dampak dari kepemimpinan al-Ma’mun yang pro ilmuwan dan abai terhadap ulama menyisakan garis demarkasi yang cukup jelas antara sains dan agama,” jelas dalam diskusi tersebut.
Simak penjelasan lengkapnya dalam video berikut ini: